Persamaan antara Pangeran Siddhartha dengan Pangeran Diponegoro
Sabtu, 17 Mei 2025 20:14 WIB
Keduanya justeru mengambil keputusan yang berkebalikan dengan kebanyakan orang. Mereka memilih untuk meninggalkan istana demi sebuah tujuan.
***
Siddhartha Gautama lahir di Lumbini (sekarang Nepal) dari seorang Raja dari klan Shakya bernama Suddhodana dan Ratu Mahamaya. Diperkirakan lahir pada 623 SM. Namun, ibu Siddhartha meninggal 7 hari setelah melahirkannya. Suatu hari, seorang lelaki suci meramalkan hal-hal baik bagi Siddhartha muda. Ia meramal bahwa nantinya, Siddhartha akan tumbuh dan menjadi sosok yang hebat, entah itu menjadi seorang raja, pemimpin militer, atau pemimpin spiritual.
Sedangkan Pangeran Diponegoro lahir di Keraton Kasultanan Yogyakarta dengan nama kecil Raden Mas Mustahar yang kemudian setelah dewasa diganti dengan Raden Mas Ontowiryo, putera sulung dari Sri Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati. Ia lahir pada Jumát Wage, 11 November 1785 M atau 8 Muharam 1200 H. Hari kelahirannya dianggap sangat beruntung dalam penanggalan Jawa karena bertepatan dengan bulan Sura, yang merupakan bulan pertama tahun Jawa menandai awal dari pendirian kerajaan serta awal dari gelombang sejarah baru.
Sejak kecil Siddharta Gautama adalah anak yang cerdas dan sangat pandai. Pada usia 7 tahun, Siddharta sudah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan denga baik. Sedangkan Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan daripada masalah pemerintahan (keraton).
Memilih Untuk Meninggalkan Istana
Istana (keraton) identik dengan keagungan, kemegahan, kemewahan, atau keindahan. Siapapun akan senang berada di istana. Setiap orang bermimpi untuk bisa tinggal di sana. Tempat yang indah dan megah bagaikan surga. Tahta, harta, dan Wanita berpusat di sana. Segala kenikmatan dunia serba tersedia.
Namun, baik Pangeran Siddhartha maupun Pangeran Diponegoro justeru mengambil keputusan yang berkebalikan dengan kebanyakan orang. Sebuah keputusan yang tak diduga dan tak dinyana, yang sudah barang tentu sangat mengejutkan. Mereka memilih untuk pergi meninggalkan istana demi sebuah tujuan sangat mulia.
Pangeran Siddhartha melakukan pengembaraan untuk mengetahui dunia luar. Ia menemukan berbagai hal yang tak pernah ia temukan selama berada dalam istana. Sampai pada suatu Ketika, ia melihat penderitaan berupa orang yang sakit, orang tua, orang yang mati, dan seorang pertapa.
Ia belajar kepada beberapa guru dan seorang pertapa untuk menempuh jalan spiritual yang lebih mendalam. Tujuannya adalah untuk menemukan cara bagaimana menghilangkan penderitaan atau membebaskan manusia dari usia tua, rasa sakit, dan kematian. Perjuangan Siddhartha dalam memaknai kehidupan dan mengupayakan terciptanya bangunan spiritualitas yang paripurna merupakan perjuangan yang berangkat dari hati nurani dan akal budi.
Pada suatu malam, Siddhartha duduk sendirian di bawah pohon Bodhi. Ia bertekad untuk tidak bangun sampai kebenaran yang beliau cari datang kepadanya. Ia bermeditasi sampai matahari terbit keesokan harinya. Ia tinggal di bawah pohon Bodhi selama beberapa hari, memurnikan pikirannya, melihat seluruh hidupnya, dan kehidupan sebelumnya, dalam pikirannya. Lalu, sebuah gambaran pun mulai terbentuk di benak Siddhartha tentang semua yang terjadi di alam semesta. Pada akhirnya ia berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan penderitaan yang telah ia cari bertahun-tahun lamanya. Siddhartha Gautama pun menjadi Buddha.
Sementara itu, Pangeran Diponegoro juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo, bersama nenek buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwono I, di Puri Tegalrejo. Di sana, ia memperdalam ilmu agama sekaligus bisa dekat dengan rakyat jelata.
Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk melakukan perang jihad fi sabilillah melawan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya Tindakan Belanda yang memasang patok-patok yang melewati makam para leluhur, perihal sewa tanah dan penerapan pajak yang sangat merugikan petani, serta ikut campur mereka dalam urusan internal keraton.
Gerakan perjuangan yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro mendapat sambutan yang luar biasa, tidak hanya oleh masyarakat di sekitar Keraton Yogyakarta, tetapi hampir di seluruh Pulau Jawa. Para petani, kaum santri, para ulama, termasuk bangsawan keraton sendiri bahu-membahu dan Bersatu-padu melawan kezaliman pemerintah kolonial. Inilah yang kemudian disebut dengan Perang Jawa (1825-1830 M).
Meskipun pada akhirnya Pangeran Diponegoro kalah dan beliau diasingkan ke Manado dan kemudian dipindahkan ke Ujung Pandang dan meninggal di sana, setidaknya ia telah gigih berupaya melawan kezaliman, penindasan, dan ketidakadilan. Ia dan para pengikutnya mampu menunjukkan harga diri dan martabat sebagai manusia dan sekaligus sebagai sebuah bangsa.
Apabila Pangeran Siddhartha berhasil menemukan pencerahan dan bisa membebaskan diri dari segala bentuk penderitaan, kemelekatan, dan hawa nafsu; pun demikian halnya dengan Pangeran Diponegoro. Ia mampu memberikan pencerahan kepada rakyat di Pulau Jawa agar terbangun dan bergerak untuk membebaskan diri dari penderitaan yang diakibatkan oleh keserakahan kolonialisme.
Jika Pangeran Siddhartha terbiasa melakukan meditasi dalam perjalanan panjang spiritualnya, Pangeran Diponegoro pun melakukannya di Gua Kakung, Kulonprogo. Di sela-sela perjuangannya dalam memimpin perang gerilya melawan kompeni, ia menepi sejenak untuk hening agar Yang Maha Kuasa memberinya petunjuk (wangsit). Agar Tuhan berkenan membersamainya dalam jihad fi sabilillah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sekarang Orang Justeru Berebut Masuk ke Istana
Kisah kedua pangeran di atas tentu sangat menginspirasi kita semua. Demi tujuan yang sangat luhur, mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan istana dan tidak menjadi penguasa (raja). Mereka rela meninggalkan semuanya demi kepentingan orang banyak. Bahkan, mereka rela menderita dan hidup di pengasingan dengan segala keterbatasan.
Berbeda dengan fakta hari ini, justeru orang berlomba-lomba agar bisa masuk ke istana. Istana di sini tidak hanya istana presiden, tapi bisa juga kantor gubernur, kantor bupati, atau Gedung DPR/DPRD. Mereka melakukan berbagai upaya, bahkan dengan cara yang tidak benar atau bertentangan dengan hukum sekalipun.
Bahkan, mereka yang sudah berhasil duduk di singgasana istana, enggan untuk meninggalkannya. Mereka dengan sekuat tenaga untuk mempertahankannya. Kalau perlu, bisa berada di sana selamanya (terutama bagi negara monarki absolut).
Mereka begitu tergoda akan kekuasaan. Bahkan, para pengusaha yang sudah kaya-raya sekalipun, mereka belum puas jika belum memiliki kekuasaan. Kaya saja tidak cukup. Idealnya ya kaya sekaligus berkuasa. Menurut keyakinan mereka, dengan berkuasa mereka bisa memiliki segala-galanya.
Kedua pangeran di atas dan tokoh-tokoh lainnya yang seharusnya dijadikan teladan, tidak lebih dari sekedar tokoh sejarah yang tak bermakna. Mereka mempelajari peristiwa-peristiwa sejarah hanya sebatas pengetahuan. Padahal, inti dari mempelajari sejarah adalah untuk mengambil ibrah, pelajaran berharga dalam menjalani kehidupan saat ini dan di masa mendatang.
Referensi:
Wikipedia
Salim A. Fillah, Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (Kisah, Kasih, dan Selisih dalam Perang Diponegoro), Pro-U Media, 2019.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Persamaan antara Pangeran Siddhartha dengan Pangeran Diponegoro
Sabtu, 17 Mei 2025 20:14 WIB
Thudong dan Safar: Perjalanan Mencari Pencerahan
Minggu, 11 Mei 2025 06:31 WIBArtikel Terpopuler